M.KHRISNA IVANDO EBA

Kamis, 04 November 2010

menderita karena koruptor

Oleh: M.Khrisna Ivando Eba
Sudah umum berkembang anggapan bahwa korupsi di Indonesia merajalela. Dengan anggapan ini sebetulnya banyak orang yang bisa dituduh atas kejahatan korupsi. Tapi yang terjadi adalah sangat sedikit yang dapat diproses hukum atas kejahatan korupsi tersebut. Dengan mudah pula bisa ditelusuri bahwa komitmen kerja pemerintah dan aparat penegak hukum telah gagal memberantas korupsi. Keroposnya komitmen ini pantas untuk diberi “angka merah” dalam rapor kerja pemerintah dan aparat penegak hukum. Tentu saja, korupsi yang merajalela itu tak hanya berdampak pada kehidupan usaha, melainkan yang lebih menderita lagi adalah rakyat kecil. Perkembangan ini tercermin dari keputusan menaikkan harga BBM, listrik, dan telepon bahkan tarif tol pun rencananya bakal naik, yang segera memunculkan gelombang protes yang meluas.

Birokrasi pemerintahan sekarang adalah warisan Orde Baru Soeharto baik birokrasi sipil maupun militer. Salah satu faktor penyebab krisis ekonomi yang membangkrutkan keuangan negara adalah penguapan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mencapai Rp 144 triliun sehingga dengan pukulan krisis moneter, kehancuran ekonomi tak dapat dihindarkan. Birokrasi negara memang sangat akrab dengan kebocoran dana pembangunan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagian besar kebocoran ini telah menguap tanpa dapat dipertanggungjawabkan. Semua departemen pemerintah, tak terkecuali Departemen Agama (contoh kasus adalah penyelewengan Dana Abadi Umat yang melibatkan mantan Menteri Agama Said Agil Al-Munawar), telah dilaporkan terjadi berbagai kebocoran.

Irama kerja birokrasi yang lamban, bertele-tele dan tak becus, semakin mengikis fungsinya untuk memberikan pelayanan bagi warga negara. Sebaliknya, watak birokrasi ini telah berkembang menjadi birokrasi yang justru harus dilayani warga negara. Aparat peradilan pun bukan lagi tempat orang untuk dilayani dalam meraih keadilan, melainkan telah diubah menjadi “sarang mafia peradilan”. Pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung telah ditengarai sebagai pasar jual-beli perkara. Harapan akan suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak, telah digerogoti oleh praktik suap dan korupsi. Kenyataannya, tangan-tangan kotor pelaku korupsi kelas kakap tak jarang malah dilepaskan dari jerat hukum atau memperoleh hukuman yang ringan, bahkan tidak sedikit menikmati putusan bebas. Institusi kejaksaan dan pengadilan lebih dikenal sebagai “mesin binatu” yang siap bekerja mencuci tangan-tangan kotor itu menjadi bersih kembali.

Ketika pemerintah berganti, birokrasi negara masih tetap seperti sediakala. Pada masa pemerintahan Habibie memang pernah menonaktifkan Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib dan Abdurrahman Wahid mencopot Marzuki Darusman serta beberapa menteri yang diduga terlibat KKN atau dianggap tidak becus, namun korupsi dalam tubuh birokrasi tak juga berkurang. Bahkan bertambah-tambah dengan berjalannya “proyek otonomi daerah” sejak Januari 2001, serta kebutuhan dana partai-partai politik yang menikmati politik pasca-Soeharto.

Sepanjang pemerintahan Megawati, Jaksa Agung MA Rachman yang diketahui publik memiliki rumah yang tidak dilaporkan kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), masih saja menikmati kursi empuknya tanpa tanda-tanda akan dicopot. Begitu juga yang dinikmati Gubernur BI Syahril Sabirin. Kendati penyimpangan BLBI menjadi salah satu penyebab bangkrutnya ekonomi Indonesia, tapi Syahril Sabirin masih terus menduduki jabatannya, bahkan kini menikmati kebebasan dengan vonis bebas dari majelis hakim. Akbar Tandjung pun seperti tanpa halangan untuk terus menduduki jabatan Ketua DPR. Putusan hakim pengadilan yang memutuskannya bersalah atas perkara penyelewengan dana nonbujeter Bulog, tetap saja menikmati keistimewaan dengan kursi Ketua DPR-nya. Bahkan kasus Asramagate dan Wakil Presiden Hamzah Haz dengan PT QSAR. Tapi hingga kini tak ada kejelasan pengusutan mengenai dugaan keterlibatan dalam kasus tersebut. Presiden sekarang Susilo Bambang Yudhoyono mengganti Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar dengan Komisaris Jenderal Sutanto yang sebelumnya menjabat Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional. Pergantian ini disinyalir sebagai upaya Presiden untuk merestrukturalisasi dan merevitalisasi instansi kepolisian di Indonesia mengingat citra Polri di mata masyarakat yang sudah demikian buruk.

Sebelum, di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid sempat terungkap sejumlah yayasan bisnis dan koperasi yang dikelola TNI dan Polri tapi kini kembali menguap tanpa dikutak-katik lagi. Bahkan yang terhangat kasus pengerukan pasir laut yang diekspor ke Singapura juga tak jelas ujung penyelesaian hukumnya. Belum lagi kasus “helikopter” mantan Gubernur NAD Abdullah Puteh dan pembunuhan aktivis HAM Munir yang tak kunjung dapat terselesaikan.

Sementara itu, partai-partai politik besar yang juga pernah diungkapkan melakukan pelanggaran dalam Pemilihan Umum 2004, bahkan ada beberapa kasus perkara bekas pemilu 1999 lalu, melalui “politik uang” (money politics), namun tak satu pun diproses untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Sebagian besar elite partai-partai itu kini telah menikmati kursi DPR dan DPRD, dan sebagian ada yang menjadi pejabat pemerintah. Tapi mereka telah merasuk dalam lingkungan politik di mana prosesnya lebih condong pada “politik dagang sapi” ketimbang upaya-upaya melembagakan demokrasi. Perilaku mereka tercermin dari tindakan sering bolos sidang sambil tetap menerima uang rapat, menikmati “hadiah” mesin cuci, uang kavling, uang perjalanan ke daerah, bahkan studi banding ke luar negeri. Dampaknya antara lain mereka gagal membentuk Pansus Bulog II serta lemahnya komitmen atas kasus Trisakti-Semanggi, bahkan gagal mengungkap kasus praktek percaloan proyek daerah yang terjadi di lingkungan mereka sendiri. Hal yang sama juga terjadi bagi anggota-anggota DPRD di daerah. Dengan lingkungan politik seperti itu, pemerintah dan DPR maupun partai politik di pusat maupun di daerah, pada umumnya tak dapat menunjukkan komitmen yang kuat atas dua hal yang dibahas.

Pertama, gagal memenuhi komitmen kerja dalam memberantas korupsi demi pemulihan ekonomi untuk kepentingan menciptakan kembali iklim investasi yang kondusif serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Malah perhatian mereka lebih terfokus untuk memburu pengumpulan dana bagi kelanjutan jabatan-jabatan mereka pada pemilihan umum 2004. Kedua, penciptaan proses pelembagaan demokrasi melalui penguatan partisipasi rakyat dalam politik justru telah dipatahkan oleh lingkungan koruptif dan “politik dagang sapi”. Demokrasi hanya sekadar politik wacana, bukan bergerak dalam pelaksanaan proses pelembagaannya.

Pemerintah, dengan dana pembangunan dan APBN di tangannya, seyogianya dituangkan secara ketat dan terukur dalam program pemulihan ekonomi. Selain itu, melalui sasaran yang tepat, dilakukan program peningkatan kesejahteraan rakyat yang terencana. Tapi dengan perilaku DPR dan DPRD maupun partai-partai politik, pengawasan atas jalannya program pemerintah acap gagal dikontrolnya. Korupsi, kebocoran-kebocoran dana pembangunan dan APBN, serta pungutan yang merajalela, telah menjadi penghalang bagi penciptaan iklim investasi yang kondusif. Harapan untuk meningkatkan daya saing ekspor perusahaan-perusahaan nasional, telah dihadang korupsi.

Kondisi merajalelanya korupsi itu membuat Indonesia menjadi tak menarik sebagai ajang investasi. Akibatnya ada sebagian yang memilih hengkang ke luar negeri, tapi tak sedikitpun yang terancam gulung tikar. Kepentingan dunia usaha yang telah memberikan sumbangan penting bagi penerimaan pajak, justru tak diperbaiki dengan komitmen dan kinerja pemerintah untuk memberantas korupsi dan pungutan liar. Terganggunya kepentingan dunia usaha ini membuat mereka mengancam untuk memboikot membayar pajak.

Memang tiap tahun pemerintah berupaya mengeruk dana yang besar untuk menutupi defisit APBN sebesar kurang lebih Rp 27 triliun. Pemerintah menganggap penerimaan pajak kurang lebih Rp 180 triliun tiap tahunnya belum mampu menutupi defisit APBN. Namun akibat merajalelanya korupsi dan kebocoran dana, serta ditambah lagi kinerja pemerintah yang buruk dan kebijaksanaan yang tak efektif, telah membuat dunia usaha tak bisa bergairah. Pada gilirannya kegiatan usaha mereka semakin terancam. Selama hampir 10 tahun krisis, rakyat telah berkorban demi langkah efektif pemerintah untuk mengatasinya. Tapi kini rakyat kian kritis dan merasa telah diperlakukan tidak adil.

Dengan situasi yang terus memburuk itu, diperkirakan akan bertambah 2,9 juta orang miskin tiap tahunnya apabila masalah ini tidak dicarikan solusinya. Hasil yang lain dapat diprediksi, banyak buruh yang bekerja tanpa upah yang layak, puluhan ribu pekerja nelayan dan pekerja industri terancam kehilangan pekerjaan, sementara jutaan orang mulai menderita rawan pangan, kurang gizi, busung lapar, jutaan anak putus sekolah, dan berbagai macam jeritan dan tangisan rakyat lainnya. Sampai kapankah Indonesia akan terus menangis? Hanya Tuhan yang tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar